PLTU sluke

Posted by ia3team | Posted in | Posted on 07.55



Pembangunan dimulai, 13 hektar lahan belum dibebaskan PLTU Sluke ditargetkan mulai beroperasi tahun 2009

SETELAH
melalui proses panjang yang menguras energi selama sekitar satu tahun, akhirnya pembangunan fisik pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan baku batu bara di pantai Desa Trahan- Leran, Kecamatan Sluke, Kabupateen Rembang, dimulai 19 April lalu, ditandai dengan acara tasyakuran di tapak lokasi PLTU.


Pelaksana pembangunannya adalah sebuah konsorsium PT Priamanaya Indonesia - PT Zelan Malaysia. Kendati agak mundur terkait belum tuntasnya pembebasan tanah, namun Direktur Proyek Pembangunan PLTU Sluke, Ir Suliyanto Hari Poerwono MSc optimistis pembangunan proyek itu akan selesai akhir 2009 sesuai yang ditargetkan PT PLN (Persero). Diharapkan, unit I bisa dioperasikan September dan unit II Desember 2009.

Proses pembangunan PLTU berkapasitas 600 mega watt (MW) senilai sekitar Rp 6 triliun ini memmang tidak berjalan mulus. Ada dua persoalan yang harus di hadapi oleh PT PLN dan"tim sembilan"yang dibentuk pemerintah kabupaten (Pemkab) Rembang.

Pertama, terkait dengan besarnya ganti rugi tanah dan munculnya sikap pro- kontra di tengah masyarakat khususnya dari warga Leran. Negoisasi mengenai besarnya ganti rugi tanah berlarut-larut, bahkan hingga sekarang masih ada sekitar 13 ha yang belum berhasil dibebaskan.

PT PLN melalui tim sembilan

mematok harga Rp 40.000 per meter persegi dan harga itu sudah maksimal tidak bisa naik.

Dengan alasan, pagu yang ditetapkan oleh PT PLN pusat memang sebesar itu. Jika meluluskan permintaan warga dengan ganti rugi sebesar Rp 100.000/m2, PT PLN takut berhadapan dengan KPK. Karena memberi ganti rugi yang jauh di atas nilai jual objek pajak (NJOP) setempat yang hanya Rp 10.000.

Harga sebesar itu menurut PT PLN sudah cukup tinggi, karena sudah beberapa kali lipat di atas NJOP. Tetapi sebagian warga khususnya dari Desa Trahan tetap pada tuntutannya. Sehingga dari kebutuhan areal sekitar 60 ha untuk pembangunan PLTU, sampai sekarang masih sekitar 13 ha yang belum berhasil di bebaskan.

"Kami tidak menolak pembangunan PLTU, karena memang sangat diperlukan untuk mengtaasi krisis listrik dan energi dikemudian hari, kami hanya minta ganti rugi yang layak. Yaitu Rp 100.000/m2 syukur bisa lebih," ujar Ali, salah seorang warga Trahan beberapa waklu lalu.

Waktu terus bergulir, penandatanganan kontrak antara PT PLN dengan konsorsium pemenang tender sudah dilakukan akhir Februari 2006, sementara pembebasan tanah belum tuntas. Akhirnya tim sembilan Pemkab Rembang menyampaikan kepada warga yang belum melepas tanahnya, jika sampai 14 April lalu warga tetap tidak melepas tanah, maka akan diberlakukan peraturan presiden (Perpres) yang mengatur pembebasan tanah untuk pembangunan kepentingan umum.

Jika Perpres benar-benar diberlakukan, uang ganti rugi dititipkan di Pengadilan Negeri (PN) Rembang. "Pemberlakukan Perpres adalah alternatif terakhir. Kami akan terus melakukan pendekatan kepada warga pemilik tanah melalui lembaga yang ada di desa maupun secara door to door," ujar Sekda Rembang H Hamzah Fathoni SH MKn.

Ditolak warga
Hambatan krusial lain yang harus dihadapi tim sembilan dan PT PLN adalah sikap kontra dari sebagian warga Leran.

Mereka menolak dengan keras rencana pembangunan PLTU di desanya. Alasannya, dampak negatif khususnya dampak sosial yang akan ditimbulkan terhadap warga sekitar akan lebih banyak dari manfaatnya.
Antara lain soal polusi udara dan getaran yang diperkirakan akan mengganggu aktivitas dan kenyamanan warga desa-desa sekitar PLTU. Kemudian biaya hidup di sekitar Desa Leran kelak juga akan meningkat seiring dengan beroperasinya PLTU. Belum lagi dampak sosial negatif lainnya seperti kemungkinan munculnya praktik kemaksiatan.

Tetapi berkat kesabaran dari tim dan PT PLN, sikap kontra dari warga Leran sedikitdemi sedikit berhasil diredam. Antara lain dengan cara melakukan sosialisasi secara langsung mengenai PLTU. Baik secara teknis maupun manfaat bagi negara dan masyarakat untuk mengatasi krisis listrik dan energi secara nasional khususnya di Jawa- Bali pada 10 tahun mendatang.

Yang kedua, mereka diajak melakukan studi banding ke PLTU Tanjung Jati B Jepara untuk melihat secara langsung mengenai kekawatiran mereka soal pencemaran udara dan getaran. Setelah melihat di Tanjung Jati B, pada umumnya mereka menjadi tahu bahwa apa yang dikemukakan sejumlah warga yang menolak tidak benar.

Ternyata di sana tidak ada pencemaran udara dari asap PLTU yang sebelumnya dikatakan hitam pekat. Di sana tidak ada getaran dari mesin, tidak ada kebisingan suara dan juga tidak ada pencemaran di laut yang mengakibatkan ikan-ikan mati.

Melalui Kepres nomor 71 tahun 2006, pemerintah menunjuk PT PLN (Persero) untuk membangun 10 PLTU di Pulau Jawa dalam rangka mengatasi dan melakukan diversifikasi energi. Ini sebagai program percepatan untuk mengatasi krisis energi dan listrik khususnya di Jawa dan Bali.

Menurut Pimpro PLTU Sluke, Suliyanto, sebenarnya banyak daerah lain seperti Tuban siap menyediakan lahan untuk lokasi pembangunan PLTU. Tetapi karena komitmen Pemkab Rembang yang begitu tinggi untuk membantu terlaksananya pembangunan PLTU di Sluke, maka kami tetap menempatkan PLTU di Sluke dan mengabaikan tawaran dari daerah lain. "Jadi apa pun yang terjadi, pembangunan PLTU tetap di Rembang," tegasnya. Daryono/ar

Comments (0)

Posting Komentar